Liputan6.com, Jakarta - Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang terlalu luas dikhawatirkan akan mengganggu jalannya tugas dan fungsi pimpinan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Mereka (pimpinan BUMN) berpotensi terjerat kasus hukum, hanya karena penegak hukum terlalu luas menafsirkan pasal-pasal dalam undang-undang tipikor," kata Konsultan Hukum Ary Zulfikar Ary dikutip dari Antara, Selasa (30/7/2019).
Ary yang kerap bertindak selaku pengacara dalam sejumlah kasus hukum yang melibatkan pimpinan BUMN dengan UU Tipikor menjelaskan kalau aparat penegak hukum selalu mengaitkan kekayaan negara termasuk aset atau kekayaan yang dimiliki, baik di BUMN maupun di anak perusahaan BUMN, sehingga jika ada kerugian di level BUMN maupun di level anak perusahaan BUMN, dianggap sebagai kerugian negara.
Namun, di sisi lain tafsir aset BUMN atau anak perusahaan BUMN agak berbeda, jika berbicara tentang kewajiban atau hutang BUMN/anak perusahaan BUMN, kita tidak pernah mendengar istilah bahwa utang BUMN/anak perusahaan adalah utang/kewajiban negara atau pemerintah, ungkapnya.
Dengan kondisi demikian, dia menilai analogi aset BUMN adalah aset negara menjadi tidak relevan. Negara hanya memiliki saham pada BUMN yang dicatat sebagai kekayaan negara.
"Jadi negara hanya sebagai pemilik saham. Jika terkait dengan kekayaan BUMN, maka yang dilakukan oleh direksi BUMN tentunya dalam bingkai undang-undang perseroan terbatas," ujar Ary.
“Jika Direksi BUMN telah menjalankan tugas dan fungsinya dengan itikad baik, dan menjalankan good corporate governance sesuai dengan fiduciary duty sebagai direksi, maka yang bersangkutan tidak bisa dikriminalkan,” jelasnya.
Sedangkan jika ternyata jajaran direksi suatu BUMN tidak menjalankan prinsip fiduciary duty dan menyebabkan kerugian perusahaan, maka direksi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban secara perdata atas kerugian yang ditimbulkan.
Penerapan UU Tipikor
Sejak UU Tipikor diterapkan, banyak jajaran direksi BUMN di negeri ini yang terjerat kasus hukum, dan banyak di antaranya yang berakhir dengan vonis bersalah dan mendekam di jeruji besi, akibat adanya kasus yang merugikan persero yang dipimpinnya itu.
Padahal, menurut Ary, tidak semua kerugian yang terjadi di BUMN itu murni akibat kesalahan yang dilakukan direksi tersebut.
Akibatnya, para direksi BUMN kerap dalam posisi dilematis. Di satu sisi dia dituntut untuk mencari keuntungan, tetapi ketika keputusan bisnis yang diambil salah dianggap merugikan negara dan diancam dengan undang-undang tipikor.
Terkait dengan kasus-kasus kerugian negara yang terjadi akibat keputusan bisnis yang diambil jajaran direksi, Ary Zulfikar menegaskan, tindakan jajaran direksi tersebut tidak bisa dijerat kasus hukum jika sepanjang tindakan bisnis yang diambilnya sudah memenuhi persyaratan dan prosedur yang ada di BUMN tersebut.
“Kriminalisasi terhadap business judgement rule tidak dapat dibenarkan, kecuali yang bersangkutan memang melakukan tindak pidana seperti menggelapkan dana perusahaan, melakukan penipuan dan lain sebagainya,” ucap lulusan magister hukum Universitas Gadjah Mada dan Doktor Hukum Bisnis dari Universitas Padjadjaran ini.
Namun, dia mengakui yang menjadi soal saat ini adalah tafsir UU Tipikor yang terlalu luas oleh penegak hukum, khususnya Pasal 2, membuat sejumlah jajaran direksi berurusan dengan hukum.
Menteri Rini Diminta Evaluasi Jajaran Direksi BUMN
Pengamat Ekonomi INDEF Bhima Yudhistira menilai Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perlu melakukan evaluasi dan perombakan direksi-direksi di BUMN melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB). Salah satu BUMN yang jajaran direksinya perlu dievaluasi yaitu Garuda Indonesia.
“Memang Menteri BUMN ini juga harus bertanggung jawab terhadap kondisi kinerja di Garuda. Kemarin Garuda laporan keuangannya bermasalah,” ujar dia di Jakarta, Rabu (17/7/2019).
Bhima berharap, perombakan direksi BUMN ini tidak berdasarkan pertimbangan politik tapi harus berbasiskan kinerja. Menurutnya, BUMN-BUMN yang memiliki kinerja kurang baik butuh perombakan direksi.
“BUMN yang harusnya layak untuk dirombak justru malah tidak dirombak. Justru RUPSLB malah ke BUMN lainnya. Itu jadi kontradiksi,” lanjut Bhima.
Terkait perombakan direksi Garuda, Bhima menilai kasus manipulasi laporan keuangan menjadi alasan kuat bagi Kementerian BUMN untuk merombak jajaran direksi Garuda. Bahkan menurut dia, masalah laporan keuangan Garuda Indonesia ini sudah seharusnya masuk ke ranah pidana karena berpotensi merugikan negara.
“Iya kan ini sama pihak Garuda dan Kementerian BUMN dianggap bukan masalah. Tapi kan penyelidikan dari OJK dan Kementerian Keuangan menemukan bahwa ini memang manipulasi keuangan,” kata dia.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian BUMN Imam A Putro mengatakan, Kementerian BUMN telah meminta kepada para BUMN untuk menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB). Ada dua agenda yang diminta dalam RUPS, yakni penyampaian kegiatan usaha selama kuartal II-2019, dan perubahan susunan pengurus perseroan masing-masing BUMN.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ini Alasan Direksi BUMN Rawan Terjerat Kasus Hukum"
Post a Comment