Liputan6.com, Jakarta - Indonesia Budget Center (IBC) menilai berbagai celah dalam kebijakan tarif cukai rokok berpotensi merugikan negara. Oleh karena itu, pemerintah didorong untuk melakukan perbaikan terhadap kebijakan ini.
Ketua Indonesia Budget Center, Arif Nur Alam menjelaskan kerugian negara yang muncul dari celah kebijakan cukai rokok disebabkan adanya produsen yang membayar tarif cukai rokok lebih rendah dibandingkan yang seharusnya.
“Ini karena penggolongan tarif cukai saat ini sangat banyak dan rumit. Padahal, setiap kebijakan yang rumit akan memunculkan celah penyimpangan,” kata dia di Jakarta Selasa (29/7/2019).
Saat ini, pemerintah mengatur tarif cukai rokok melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 tahun 2017 yang kemudian direvisi menjadi PMK 156/2018 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Dalam aturan tersebut, pemerintah menetapkan golongan tarif cukai rokok yang berbeda berdasarkan batasan produksi sesuai kategorinya, antara lain Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Tangan (SKT).
Masalahnya, lanjut Arif, terdapat perusahaan rokok SPM dan SKM besar dan asing yang memanfaatkan celah tersebut untuk menghindari pembayaran pajak dan cukai yang lebih mahal. Salah satu caranya adalah dengan membatasi produksi mereka agar tidak melampaui tiga miliar batang di setiap segmen yang menjadi ambang batas (threshold) penetapan tarif tertinggi.
Padahal, jika digabungkan SPM dan SKM, produksi rokok perusahaan besar asing tersebut melampaui tiga miliar batang rokok.
“Inilah salah satu celah kerugian negara akibat kebijakan tersebut. Ini harus diperbaiki,” tegas Arif.
Salah satu perbaikan yang dapat dilakukan adalah dengan menggabungkan batasan produksi SPM dan SKM sehingga perusahaan besar asing tidak main-main dengan tarifnya.
Dia menjelaskan, pemerintah sudah memiliki contoh yang benar saat mencabut insentif cukai rokok di zona perdagangan bebas (free trade zone/FTZ) yang merugikan negara terhitung sejak 17 Mei 2019. Keputusan tersebut merupakan tindak lanjut rekomendasi KPK kepada Presiden pada Februari 2019.
KPK telah melakukan kajian Optimalisasi Penerimaan Negara di FTZ sepanjang 2018. Diantara hasil kajian adalah temuan indikasi penyalahgunaan dan ketidaktepatan pembebasan cukai untuk 2,5 miliar batang rokok yang berpotensi mengurangi penerimaan negara hingga Rp 945 miliar di FTZ Batam.
Arif mengatakan, Kementerian Keuangan hendaknya segera memberlakukan penggabungan antara SPM dan SKM tersebut. Sebab, jika praktik ini berlarut-larut, kerugian negara akan terus terjadi.
"Pemerintah harus menyusun kebijakan mengurangi potensi kerugian negara. Dengan adanya revisi kebijakan ini, pemerintah bisa meningkatkan pendapatan negara," tegasnya.
Pabrik Rokok Diuntungkan dengan Tarif Cukai Murah
Pemerintah diharapkan tidak ragu menerapkan kebijakan penggabungan batasan produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) menjadi tiga miliar batang. Meski kebijakan tersebut mendapatkan penolakan dari pabrikan rokok.
Pengamat Ekonomi Abdillah Ahsan mengatakan, penggabungan perlu direalisasikan karena pabrikan rokok selama ini telah menikmati tarif cukai murah.
“Pengusaha rokok yang protes adalah mereka yang diuntungkan dari kebijakan saat ini. Mereka membayar cukai lebih murah padahal sama-sama menjual rokok yang menyakiti dan tidak banyak menyerap tenaga kerja,” ujar dia di Jakarta, Kamis (18/7/2019).
Menurut Abdillah, pabrikan rokok menolak penggabungan batasan produksi SKM dan SPM karena khawatir tidak akan bisa lagi membayar tarif cukai murah. Dengan penggabungan tersebut, pabrikan yang memiliki volume produksi segmen SKM dan SPM di atas tiga miliar batang harus membayar tarif cukai golongan I pada kedua segmen tersebut.
“Tentu saja yang menolak, menikmati keuntungan dari sistem saat ini yang tidak rasional dijalankan. Kebijakan yang tidak efisien ini juga mendorong rokok ilegal karena jumlah layer tarif cukai banyak sehingga peluang rokok ilegal tipe salah personifikasi meningkat,” ucap dia.
Jika penggabungan batasan produksi SKM dan SPM tidak segera direalisasikan, Abdillah khawatir angka perkokok di Indonesia akan terus meningkat lantaran semakin murah dan mudahnya rokok dijangkau oleh masyarakat.
"Semangat penggabungan SKM dan SPM untuk mengurangi perbedaan harga rokok sehingga konsumen tidak bisa beralih ke rokok murah, pada saat harga rokok naik. SKM dan SPM sama-sama buruk untuk kesehatan, sepatutnya digabung,” tutup dia.
Penolakan dari Pabrik Rokok
Sebelumnya, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Rofyanto Kurniawan, mengatakan pemerintah memang mendapatkan tantangan dari para produsen rokok dalam menjalankan penggabungan batasan produksi SKM dan SPM. Padahal, tujuan dari penggabungan ini untuk memudahkan pemerintah dalam melakukan pengawasan.
Sebab, dengan masih banyaknya layer tarif cukai, besar pula potensi terjadinya penyalahgunaan oleh pabrikan rokok.
"SKM golongan II dan SPM golongan II kita akan gabungkan. Kalau masuk kategori golongan I, bayar cukai golongan I, dan ini masih ada pertentangan dari produsen," tegas dia.
Namun Rofyanto tidak menjelaskan siapa saja pabrikan yang menolak terhadap penggabungan batasan produksi SKM dan SPM.
Penggabungan batasan produksi SKM dan SPM sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan 146/2017. Namun pada Desember 2018 lalu, Kemenkeu mengeluarkan PMK 156/2018 yang salah satu isinya menghapus Bab IV pada PMK 146/2017, yang mengatur tentang penggabungan batas produksi SKM dan SPM.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Pemerintah Diminta Perbaiki Celah pada Kebijakan Cukai Rokok"
Post a Comment