Liputan6.com, Jakarta - Perekonomian dunia gonjang-ganjing. Itu setelah Pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump menerapkan kebijakan kenaikan tarif impor bagi produk asal China senilai USD 200 miliar.
Bahkan sempat ada indikasi jika pengenaan tarif impor bisa berlanjut hingga USD 300 miliar. Ekonomi global terdampak karena status keduanya yang merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia.
Namun ada kabar baik berhembus. AS menyatakan tidak akan memungut tarif baru untuk barang-barang China. Perusahaan-perusahaan AS juga akan diizinkan kembali berbisnis dengan Huawei, perusahaan China yang sempat masuk daftar hitam Negeri Paman Sam.
Melunaknya perang dagang kedua negara terkuak dari pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping, di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Osaka, Jepang.
"Setidaknya untuk saat ini, Washington tidak akan mengenakan tarif baru atau menghapus tarif yang sudah ada. Kami akan terus bernegosiasi," ujar Donald Trump, seperti dikutip dari laman Straits Times, Sabtu (29/6/2019).
Turunnya tensi perang dagang diakui akan berdampak terhadap ekonomi global. Seperti diungkapkan Lead Economist World Bank Indonesia, Frederico Gil Sander.
Meredanya tensi perang dagang, memberikan sinyal positif pada turunnya ketidakpastian dalam ekonomi global. "Resolusi tensi perdagangan antara AS dan China bisa merupakan perkembangan yang sangat positif bagi ekonomi global," jelas dia.
Ketidakpastian ekonomi global bakal mengganggu para investor yang hendak menanamkan modal, terutama berkaitan dengan rencana bisnis dan investasi. Hal ini yang berdampak negatif bagi perekonomian dunia, termasuk Indonesia.
Dia pun berharap agar perkembangan positif tersebut dapat terus berlanjut sehingga tensi perang dagang terus menurun dan pihak yang bertikai dapat menemukan solusi dari masalah yang sedang terjadi. "Kita harap akan terjadi resolusi (perang dagang)," tandasnya.
Pandangan berbeda diungkapkan Anushka Shah dari Moody's Investor Service yang menyebut, gencatan senjata ini hanya berdampak jangka pendek. Ekonomi global akan tetap melemah, karena pengenaan tarif yang diterapkan Trump dan Xi masih tidak dicabut.
"Kesepakatan yang dicapai Presiden Trump dan Presiden Xi di G20 Summit untuk memulai kembali dialog dagang tidak mengubah pandangan fundamental Moody's mengenai ekonomi global. Meski kesepakatan itu akan secara parsial meredakan sentimen negatif di pasar keuangan dan mendukung pertumbuhan jangka pendek," jelas dia.
Hal senada disampaikan analis pasar senior di OANDA, Alfonso Esparza. Dalam rilisnya, menyebutkan jika tidak adanya detail kesepakatan terbaru ini, sehingga hasilnya bisa mengulang gagalnya gencatan senjata pada Desember lalu.
"Rasa takut terhadap eskalasi (perang dagang) akan berhenti, tetapi tarif saat ini terus ada kecuali ada progres nyata dari kedua belah pihak," ujar Esparza.
Indonesia Bertahan
Menteri Keuangan, Sri Mulyani saat pertemuan G20 turut menyatakan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2019 ini menjadi lebih rendah karena eskalasi dari ketegangan perang dagangantara AS dan China.
Sri Mulyani mengutip pernyataan Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde yang menyebut risiko ketegangan perang dagang membuat pertumbuhan ekonomi dunia akan turun 0,5 persen.
Dengan demikian pada 2019 ini yang diprediksi 3,5 persen dan diharapkan bisa naik menjadi 3,6 persen. Akan tetapi, kalau perang dagang terus berjalan, pertumbuhan ekonomi global hanya akan mencapai 3,1 persen.
"0,5 persen dari GDP dunia itu lebih besar dari satu ekonomi seperti Afrika Selatan. Jadi ini risikonya sangat besar," kata dia.
Indonesia termasuk salah satu negara yang terdampak sengketa perang dagang AS-China, baik secara positif maupun negatif. Mulai dari mata uang, pasar saham, hingga kondisi eskpor dan impor. Bila perang dagang mereda, dipastikan ada dampak lanjutan yang baik bagi Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengakui jika kondisi ekonomi global menjadi hal yang perlu dicermati usai gelaran pemilihan umum (pemilu). Kondisi ekonomi global saat ini dinilai masih belum menunjukkan arah perbaikan. Kondisi yang telah berlangsung sejak awal tahun lalu.
Meski dia melihat jika saat ini normalisasi kebijakan di Amerika Serikat sudah mulai mereda sehingga dipastikan tekanan pada tahun ini tidak akan sekuat tahun lalu.
"Kebijakan moneter di AS kelihatan mulai mereda tahun ini sehingga kita bisa saja mengharapkan arah terbalik dari tahun lalu terhadap kebijakan suku bunga moneter," ujarnya. Hal ini yang dinilai berdampak positif untuk ekonomi global dan Indonesia.
Dia juga menilai saat ini negara-negara di dunia sudah mulai terbiasa dengan pola gejolak tersebut. Sehingga meskipun belum pulih seutuhnya, dampak dari gejolak ekonomi global tidak akan separah tahun lalu.
"Melihat positifnya saja bahwa situasi perang dagang ini mestinya bisa memberikan hal-hal positif bagi kita walaupun sejauh ini belum terlihat, tetapi apapun ini adalah potensi-potensi hal yang positif," ujar dia.
Bahkan, dia menegaskan jika di tengah situasi ekonomi global dan ketegangan perdagangan, ekonomi Indonesia disebut masih tetap kuat. Terbukti dari angka pertumbuhan ekonomi yang meski tidak tinggi yaitu 5,17 persen, atau tetap mengalami kenaikan dari sebelumnya.
Peluang
Pengamat menilai meredanya perang dagang menjadi peluang bagi Indonesia. Meski masih ada hal yang patut diperhatikan.
"Ini sinyal positif dari G20 dengan renegosiasi terkait kebijakan tarif. Artinya besar kemungkinan perang dagang bisa sedikit mereda. Setidaknya tidak ada kenaikan tarif bea masuk yang baru," ujar Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira.
Sentimen tersebut dapat menjadi kesempatan bagi eksportir Indonesia untuk meyakinkan calon pembeli di tujuan ekspor Amerika Serikat (AS) dan China untuk menjalankan kontrak pembelian jangka panjang.
"Kemarin sempat tertunda karena wait and see pertemuan Trump dengan Xi Jinping, sekarang saatnya genjot ekspor lagi," kata dia.
Bila ekspor Indonesia mulai membaik dikatakan berdampak berkurangnya defisit neraca dagang. Hal lain efek positif renegosiasi dagang tersebut dapat mendorong perbaikan pertumbuhan ekonomi, stabilitas kurs rupiah, dan pendapatan masyarakat di sektor komoditas.
Meski demikian, Bhima menegaskan kalau renegosiasi dagang tersebut bukan berarti perang dagang selesai. Masih ada ketidakpastian di global. "Cuma negosiasi baru. Yang penting tidak ada pemberlakuan tarif baru," tutur dia.
Salah satu yang dikhawatirkan adalah defisit perdagangan](3973213 "") Indonesia yang bisa semakin melebar hingga USD 10 miliar.
Perang dagang AS-China masih berisiko mengalami eksalasi di tengah upaya Presiden Donald Trump memainkan strategi politiknya jelang Pilpres AS 2020.
Posisi China yang masih bertahan juga disebutnya menyulitkan Negeri Paman Sam untuk menghasilkan kesepakatan yang win-win solution.
"Dampaknya kinerja ekspor Indonesia masih akan tertekan sampai akhir tahun. Defisit perdagangan diperkirakan menembus USD 10 miliar. Lebih tinggi dari tahun 2018 lalu di USD 8,5 miliar," ungkap dia kepada Liputan6.com, Senin (1/7/2019).
Dia pun menuturkan, pokok masalah utama saat ini adalah bea tarif masuk. Dalam hal ini, Trump menyatakan masih ada potensi AS untuk tetap melanjutkan kenaikan bea masuk dan pajak yang jumlahnya mencapai USD 350 miliar.
"Selama tarif bea masuk belum diturunkan signifikan, permintaan bahan baku dan komoditas dari Indonesia untuk manufaktur AS dan China akan menurun," tegas dia.
Menurut dia, kunci bertahan di era perang dagang adalah membuat insentif pajak dan non-pajak bagi industri yang mau lakukan relokasi atau peningkatan basis produksi di indonesia.
"Contohnya ekspor tekstil dan pakaian jadi justru meningkat ordernya. Pemerintah tinggal melakukan pemetaan industri apa yang potensial dan jemput bola tawarkan insentif. Jangan terlambat karena Vietnam sudah gencar jemput bola ke perusahaan yang berbasis di China," imbuhnya.
Adapun sektor yang terkena imbas negatif misalnya komoditas sawit, karet, batu bara. Komoditas ini yang perlu didorong serapan domestiknya.
Sugeng, Deputi Gubernur Bank Indonesia mengakui jika Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China harus diwaspadai karena dampaknya terhadap ekonomi dunia termasuk Indonesia.
"Di antara efeknya adalah turunnya volume perdagangan dunia secara umum," tutur
Ia menuturkan, salah satu dibuktikan dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi di pusat-pusat ekonomi antara lain kawasan Eropa, Asia, Amerika Serikat dan China.
Sedangkan salah satu imbasnya lagi bagi Indonesia, banyak harga komoditas global yang menjadi andalan Indonesia seperti minyak sawit (CPO), batu bara, tembaga dan lainnya yang harganya turun, hanya harga karet dan timah saja yang naik.
Jika perang dagang yang berkelanjutan ini, lanjut Sugeng, bakal menimbulkan ketidakpastian ekonomi yang merugikan semua pihak. Salah satu langkah antisipasi yang diambil diantaranya memperkuat industri manufaktur di dalam negeri.
Meski demikian perang dagang itu, tidak selalu berdampak negatif. Akan tetapi, juga ada dampak positif yang bisa direbut.
"Namun perang dagang juga berarti membuka kesempatan bagi Indonesia. Ada komoditas yang biasanya diekspor oleh China ke Amerika Serikat yang kini dilarang oleh Amerika Serikat, dan sebaliknya. Nah kesempatan seperti ini yang harus kita rebut,"tutur dia.
Peluang lain disebutkan berkaitan dengan potensi dana yang masuk ke Indonesia. Ini karena investor tidak nyaman dengan kondisi perang dagang baik di dalam negeri Amerika Serikat maupun China.
Harapan
Pihak yang juga semringah seiring meredanya perang dagang adalah pengusaha. Hal ini dinilai akan memberikan angin segar bagi negara lain termasuk Indonesia.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, dengan keinginan kedua negara untuk kembali melakukan perundingan, diharapkan mampu menahan dampak perang dagang menjadi lebih luas.
"Ini berita baik bahwa komitmen untuk melanjutkan negosiasi penyelesaian perang dagang datang langsung dari kedua kepala negara AS dan China Komitmen politik tersebut penting untuk memastikan trade war tidak semakin meruncing," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com.
Menurut Shinta, meskipun perang dagang membuka peluang perolehan akses pasar atau potensi peningkatan investasi bagi Indonesia, namun secara keseluruhan berpotensi merugikan pertumbuhan ekonomi nasional.
"Komitmen untuk terus negosiasi dan komitmen untuk menyelesaikan perang dagang adalah dua hal yang berbeda. Jadi penyelesaian perang dagang itu sendiri tetap akan tergantung pada mandat negosiasi dan negotiator kedua negara," kata dia.
Untuk itu, lanjut Shinta, Indonesia perlu mengelola ekspektasi penyelesaian perang dagang dengan bijak.
"Tidak bisa terlalu hopeful tapi juga tidak bisa terlalu pesimis, terlebih karena hal yang sama pernah terjadi sebelumnya di tahun 2018 yang melahirkan negosiasi penyelesaian perang dagang itu sendiri namun berakhir dengan stagnasi negosiasi AS-China pada Maret-April lalu," tandas dia.
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa PT BEI, Laksono Widodo menjelaskan, perang dagang pada dasarnya berdampak buruk pada bursa di dunia. Kondisi ini membuat sulit bagi negara-negara lain terutama Indonesia untuk mengambil untung dari adanya fenomena perang dagang di bursa saham.
"Menurut saya trade war lebih banyak negatif nya ke bursa-bursa di dunia daripada sebaliknya, terutama untuk negara pengekspor seperti Indonesia," tegas dia.
Sebab itu tren meredanya perang dagang memang berdampak pada kenaikan transaksi perdagangan di pasar modal.
Meski dia mengakui kenaikan itu tidak terlampau signifikan jika dibandingkan dengan efeknya pada kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di pasar saham.
"Meredanya tensi dagang AS-China tentu berdampak bagus buat bursa kita. Tetapi kenaikanya lebih signifikan ke IHSG saja bukan ke perdagangan. Kita juga berharap perang dagang ini bisa segera berakhir, membawa kepastian," tutur dia.
Laksono melanjutkan, tren penurunan tensi perang dagang antara AS-China juga diharapkan dapat mengkerek aliran dana asing (inflow) untuk masuk ke bursa saham dalam negeri.
Dia pun berharap IHSG dapat menunjukan tren penguatan yang signifikan dan dapat melesat tembus ke level 6.500. "Ya diharapkan sih bisa tembus ke level 6.500 ya untuk pekan ini," jelasnya.
Tonton Video Menarik Ini:
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Headline: Benarkah Perang Dagang Segera Berakhir, Apa Dampaknya ke RI?"
Post a Comment