Jakarta, CNBC Indonesia - Skandal gagal bayar yang menerpa PT Asuransi Jiwasraya (Persero) menggemparkan masyarakat dan pelaku pasar keuangan Indonesia dalam beberapa waktu terakhir.
Untuk diketahui, nasabah dari Jiwasraya pada saat ini sedang dilanda kecemasan lantaran manajemen baru perusahaan sudah mengakui bahwa pihaknya tak akan bisa membayar polis JS Saving Plan milik nasabah senilai Rp 12,4 triliun yang jatuh tempo mulai Oktober-Desember 2019.
Perusahaan hanya mengatakan bahwa pihaknya akan berupaya melakukan pengembalian dana polis tersebut ke nasabah setidaknya di tahun 2020.
"Tentu tidak bisa [dikembalikan secepatnya], sumbernya dari corporate action. Mohon maaf ke nasabah, dari awal saya enggak bisa pastikan tanggal berapa karena ini dalam proses," kata Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan komisi VI DPR RI, Senin (16/12/2019).
Pada hari Rabu (18/12/2019), Kejaksaan Agung memaparkan hasil investigasi terhadap perusahaan asuransi pelat merah tersebut. Kejaksaan Agung menyebutkan bahwa ada dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dana investasi di tubuh Jiwasraya. Kejaksaan Agung sudah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) pada 17 Desember 2019.
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan penyidikan tersebut dilakukan untuk memperoleh fakta adanya kegiatan investasi di 13 perusahaan yang melanggar tata kelola perusahaan yang baik (GCG), dalam hal ini perusahaan investasi yang mengelola produk JS Saving Plan milik Jiwasraya.
"Potensi kerugian tersebut timbul karena adanya tindakan yang melanggar prinsip tata kelola, yakni terkait pengelolaan dana yang dihimpun dalam program Savings Plan," kata Burhanuddin dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan, Rabu (18/12/2019).
Foto: ST Burhanuddin Gelar Preskon Terkait Dugaan Korupsi PT Jiwasraya. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
|
Bagaimana sebetulnya 'modus' yang dilakukan manajemen lama Jiwasraya dalam mengutak-atik investasi agar bisa memenuhi komitmen return yang ditawarkan kepada investor?
Berdasarkan Dokumen Penyelamatan Jiwasraya yang diterima CNBC Indonesia, ada empat hal yang disoroti, Pertama, terjadi kesalahan dalam pembentukkan harga produk tersebut alias mispricing.
Produk Saving Plan yang ditawarkan melalui bancassurance itu ternyata dijanjikan memiliki guaranted return sebesar 9-13% per tahun dalam periode 2013-2018, dengan periode pencairan setiap tahun.
Imbal hasil yang ditawarkan dari produk JS Saving Plan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat imbal hasil deposito di tahun 2018 yang berkisar 5,2%-7%. Tingkat imbal hasil ini juga lebih tinggi dari imbal hasil obligasi korporasi dengan rating single A (idA) hingga triple A (AAA) yang sebesar 8-9,5% per tahun.
"Dengan guaranted return yang ditawarkan dan saat ini lebih tinggi dari pertumbuhan IHSG dan yield obligasi serta dapat dicairkan setiap tahun, Jiwasraya terus terkena risiko pasar," tulis dokumen tersebut, dikutip CNBC Indonesia, Kamis (19/12/2019).
Untuk diketahui, JS Saving Plan merupakan produk asuransi jiwa berbalut investasi yang ditawarkan melalui bank (bancassurance). Produk ini mengawinkan produk asuransi dengan investasi seperti halnya unit link. Bedanya, di produk Saving Plan risiko investasi ditanggung oleh perusahaan asuransi, sementara risiko investasi unit link ditanggung oleh pemegang polis.
Sorotan kedua adalah terkait lemahnya prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi. Berdasarkan rincian aset investasi, sebut dokumen itu, Jiwasraya banyak melakukan investasi-investasi pada high risk asset untuk mengejar imbal hasil yang tinggi.
Berikut adalah rincian aset investasi Jiwasraya sepanjang 2018.
Saham
Porsi dari total aset finansial adalah sebesar 22,4% atau senilai Rp 7 triliun. Sebesar 5% dari investasi saham dialokasikan ke saham-saham anggota indeks LQ45 (45 saham unggulan dan paling likuid di Bursa Efek Indonesia), sementara sisanya ke saham-saham di luar indeks LQ45.
Reksa dana
Porsi alokasi reksa dana ditetapkan sebesar 59,1% dari total aset finansial atau senilai Rp 14,9 triliun.Dari jumlah tersebut, hanya 2% yang dikelola oleh perusahaan manajer investasi yang terbilang top tier.
Perusahaan tidak menerapkan portofolio manajemen
Tidal adanya portofolio guideline yang mengatur alokasi investasi maksimum pada high risk asset. Alhasil, dengan kondisi pasar saat ini, mayoritas aset investasi tidak dapat diperjualbelikan karena tidak likuid.
Sorotan ketiga dalam dokumen tersebut adalah rekayasa harga saham (window dressing).
Menurut Investoword, window dresssing biasanya diasosiasikan dengan manuver yang seringkali dilakukan oleh perusahaan terbuka (emiten), bank, pengelola reksa dana, serta perusahaan finansial lainnya untuk memoles portofolio mereka. Misalnya, beberapa pengelola reksa dana menjual saham yang sedang melemah dan membeli saham yang sedang mengua guna mengesankan mereka telah memegang saham yang berkinerja baik.
Window dressing juga bisa diartikan sebagai upaya mempercantik laporan keuangan, dengan trik akuntansi untuk membuat neraca perusahaan dan laporan laba rugi tampak lebih baik dari sebenarnya.
Dalam dokumen tersebut bahwa rekayasa harga saham dilakukan misalnya dengan jual-beli saham dengan dressing reksa dana.
Modusnya dilakukan dengan cara Jiwasraya membeli saham yang overpriced (kemahalan) kemudian dijual di harga negosiasi (di atas harga perolehan) kepada perusahaan manajer investasi (MI), untuk kemudian dibeli kembali oleh Jiwasraya.
"Hal ini dibuktikan dengan aset investasi Jiwasraya yang dominan pada saham dan reksa dana saham yang underlying asetnya sama dengan portofolio saham langsung," tulis dokumen tersebut.
Adapun sorotan keempat ialah tekanan likuiditas terhadap produk JS Saving Plan. Tekanan likuiditas tersebut terjadi karena penurunan kepercayaan nasabah terhadap produk JS Saving Plan yang pada akhirnya menyebabkan penurunan penjualan.
Selain itu, tidak ada backup asset yang cukup untuk memenuhi kewajiban dan tekanan ini membuat terjadi gagal bayar polis JS Saving Plan senilai Rp 12,4 triliun.
"Disebabkan oleh penurunan kepercayaan nasabah, lapse rate [klaim] secara signifikan meningkat ke 51% dan terus meningkat hingga 85%. Hal tersebut menyebabkan tekanan likuiditas pada Jiwasraya."
https://news.google.com/__i/rss/rd/articles/CBMidWh0dHBzOi8vd3d3LmNuYmNpbmRvbmVzaWEuY29tL21hcmtldC8yMDE5MTIyMDE2MDAxOC0xNy0xMjQ3Nzcvaml3YXNyYXlhLWthY2F1LWJhbGF1LWFwYWthaC1zaXN0ZW1pay1kYW4tcGVybHUtYmFpbG91dNIBAA?oc=5
2019-12-20 09:29:42Z
52781952546140
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Jiwasraya Kacau Balau, Apakah Sistemik dan Perlu Bailout? - CNBC Indonesia"
Post a Comment