Search

Penjelasan PLN soal Dugaan Korupsi High Speed Diesel

Liputan6.com, Jakarta - Penyidik tindak pidana korupsi Bareskrim Polri menahan eks Direktur Utama PLN Nur Pamudji (NP) tersangka dugaan korupsi pembelian high speed diesel, sejak Rabu 26 Juni 2019.

Penahanan dilakukan penyidik karena berkas penyidikan sudah hampir rampung dan akan segera dilimpahkan ke kejaksaan.

"Hampir rampung dan segera dilimpahkan tahap 2," ujar Direktur Tipikor Bareskrim Kombes, Djoko Purwanto saat dihubungi Liputan6.com pada Jumat 28 Juni 2019.

Lamanya penyidikan, Djoko menuturkan, hal itu karena prosedur penyidikan yang ada di Bareskrim. Penyidik harus bertahap dan berjenjang menyidik sesuai perundangan yang berlaku.

"Kita tidak ingin hanya dua alat bukti, kalau bisa tiga kenapa tidak. Agar lebih hati-hati," ujar dia.

NP dikenakan Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Kasus bermula kala tersangka NP selaku Direksi PLN mengadakan pertemuan dengan Honggo Wendratmo (HW) yang merupakan Presdir PT TPPI sebelum lelang dimulai untuk membahas pasokan kebutuhan PLN atas BBM jenis HSD dari TPPI.

Manajemen PLN pun memberikan penjelasan mengenai sangkaan korupsi terhadap NP terkait pengadaan BBM HSD 2010.

Dalam penjelasan resmi PLN, tersebut menyebutkan kalau sangkaan korupsi muncul sejak ada perbedaan pendapat antara auditor BPK-RI 2014 dengan direksi PLN tentang besar jaminan pelaksanaan kontrak yang harus disediakan oleh pemasok bahan bakar minyak (BBM) yang ditunjuk melalui proses tender pengadaan BBM HSD tahun 2010.

"Auditor BPK-RI 2014 berpendapat bahwa besar jaminan pelaksanaan adalah lima persen kali nilai kontrak selama masa kontrak yaitu 36 bulan, sedangkan direksi PLN pada tender itu menetapkan lima persen nilai kontrak selama 4 bulan," seperti dikutip dari penjelasan resmi PLN, Sabtu (29/6/2019).

Sebelumnya pada 2011, BPK sudah mengaudit dan melaporkan pada audit dengan tujuan tertentu di satu sub-bab khusus tentang pengadaan BBM HSD 2010. “BPK RI 2011 menyatakan tender tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku di PLN,” seperti dikutip dari laporan itu.

PLN menyatakan kalau selama proses audit investigatif yang dilakukan BPK pada akhir 2014, juga penyelidikan yang dilakukan KPK pada awal 2015, serta penyidikan yang dilakukan Bareskrim Polri sejak awal 2016, tidak ada pertanyaan kepada saksi-saksi yang terkait dengan suap, kick back, mark up maupun kerugian nyata berupa uang hilang yang dialami PLN (sekiranya ada pembayaran yang terlanjut dilakukan PLN namun tidak ada barang atau jasa yang diserahkan oleh penyedia barang atau jasa.

"Jadi kerugian yang dituduhkan bersifat non-riel (tidak nyata), yaitu selisih antara realitas besar jaminan pelaksanaan kontrak yang sudah terjadi dengan besar jaminan pelaksanaan seandainya pendapat auditor BPK-RI 2014 sudah diterapkan,"

Direksi PLN berpendapat pengadaan energi primer (gas bumi, bahan bakar minyak dan batu bara) didasarkan pada keputusan direksi berlaku saat itu tentang pengadaan barang dan jasa Bab IV, yang khusus mengatur pengadaan energi primer. Hal ini karena energi primer tidak dapat disamakan dengan barang dan jasa pada umumnya.

"Perbedaan mendasar kontrak pengadaan barang umum dengan kontrak pembelian energi primer adalah volume barang. Pada barang umum, volume barang bersifat pasti, misalnya 10 buah komputer laptop dengan harga Rp 10 juta yang harus diserahkan dalam waktu tiga bulan," seperti dikutip dari laporan itu.

Pada energi primer, volume barang berupa perkiraan, PLN hanya memberi ancar-ancar volume maksimum yang akan dibeli selama masa kontrak dengan penyerahan secara bertahap sesuai pesanan. Akan tetapi, kepastian volume pesanan akan diberitahukan sebulan sebelum penyerahan barang. “Jadi pada kontrak energi primer yang mengikat hanya harga bukan volume,” tulis laporan tersebut.

"Terlebih-lebih pada bahan bakar minyak yang merupakan energi primer paling mahal, PLN harus berupaya agar volume BBM yang digunakan seminimal mungkin dengan cara memaksimalkan energi primer non-BBM (panas bumi, tenaga air, batu bara, dan gas bumi)," seperti dikutip dari laporan itu.

Oleh karena itu, pada kontrak pembelian BBM yang mengikat hanya harga, sedangkan volume yang tercantum dikontrak hanya berupa batas atas yaitu jumlah maksimum yang mungkin dibeli. Kemudian baru pada sebulan sebelum penyerahan, PLN memastikan volume pesanan.

"PLN bahkan boleh tidak memesan BBM mana kala persediaan BBM di tangki persediaan masih cukup untuk persediaan sebulan ke depan," seperti ditulis dari laporan tersebut.

PLN menyatakan, karena ada perbedaan antara barang umum dengan energi primer, berkaitan dengan besarnya uang jaminan pelaksanaan, tidak bisa meniru begitu saja dengan yang berlaku pada pengadaan barang dan jasa pada umumnya yaitu lima persen dari nilai kontrak.

"Jadi direksi PLN harus menetapkan besar uang jaminan pelaksanaan yang jumlah kurang lebih memadai dan dicantumkan di dokumen tender (sejak awal proses tender), namun nilai uang jaminan pelaksanaan tersebut tidak menjadi beban berlebihan bagi pemasok, karena cost of money (yaitu biaya untuk menyediakan uang jaminan yang diendapkan selama masa kontrak tersebut) pada akhirnya akan dibebankan kembali ke PLN berupa sebagian komponen dari harga penawaran, disamping komponen pembentuk harga penawaran yang lain yaitu biaya produksi, biaya logistik, dan proyeksi margin keuntungan pemasok," tulis laporan itu.

2 dari 6 halaman

Margin Keuntungan yang Diperoleh Pemasok Relatif Kecil

PLN menegaskan, perlu dipahami kalau pada industri pasokan BBM, margin keuntungan yang diperoleh pemasok relatif kecil kurang dari lima persen. Sehingga penetapan besar jaminan pelaksanaan jangan sampai terlalu besar karena dapat membuat proses tender menjadi gagal.

"Bab IV tidak mengatur tentang besar jaminan pelaksanaan, karena itu direksi PLN dapat menetapkan besar jaminan pelaksanaan dalam kontrak pembelian sesuai dengan realita industri pasokan energi primer yang akan dibeli," tulis laporan tersebut.

Untuk gas bumi yang dibeli dari sumur gas, tidak ada jaminan pelaksanaan. Penyediaan gas bumi dari sumur gas didasarkan pada prinsip effort, bila pasokan gagal, tidak ada denda yang dibayar pemasok.

"Dan bila kontrak diputus karena kegagalan pasok terjadi secara permanen, tidak ada jaminan pelaksanaan yang bisa dicairkan oleh PLN," tulis laporan itu.

Untuk batu bara, masa kontrak sebagian besar hingga 20 tahun. “Jadi tidak mungkin untuk menerapkan jaminan pelaksanaan dengan nilai lima persen kali nilai kontrak selama 20 tahun, karena akan menghasilkan nilai jaminan pelaksanaan dalam skala triliun rupiah,” tulis laporan itu.

Padahal jaminan pelaksanaan tersebut berupa uang tunai yang harus diendapkan oleh pemasok di bank sejak awal hingga akhir kontrak (PLN tidak membolehkan jaminan pelaksanaan yang berbentuk asuransi).

"Oleh karena itu, direksi PLN menetapkan besar jaminan pelaksanaan untuk pasokan batu bara yang setara dengan perkiraan biaya tambahan yang timbul jika ada kontrak batu bara yang terpaksa diputus karena gagal pasok permanen," tulis laporan itu.

Kemudian untuk BBM tidak ada jaminan pelaksanaan yang harus disediakan oleh Pertamina. PLN pertama kali mengupayakan membeli BBM dari pemasok non Pertamina mulai 2008. Untuk kontrak pembelian BBM dari pemasok non Pertamina pada 2008 dengan masa kontrak adalah satu tahun. Jaminan pelaksanan ditetapkan sebesar 10 persen kali nilai kontrak selama tiga bulan.

"Sedangkan untuk pembelian BBM HSD 2010 yang merupakan upaya kedua, di mana masa kontrak adalah empat tahun, nilai jaminan pelaksanaan ditetapkan sebesar lima persen kali nilai kontrak selama empat bulan," tulis laporan itu.

BPK pada 2011 sudah melaksanakan audit dengan tujuan tertentu dengan salah satu topik yang diaudit adalah pengadaan BBM HSD 2010. "Dan auditor BPK-RI 2011 berpendapat bahwa pengadaan tersebut sudah dilakukan dengan tata cara yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di PLN," tulis laporan itu.

Sedangkan pada 2014, BPK-RI kembali mengaudit objek yang sama. Auditor BPK-RI berpendapat besar jaminan pelaksanaan pada pengadaan BBM HSD 2010 tersebut seharusnya disamakan dengan aturan yang diterapkan untuk pengadaan barang umum sebesar lima persen kali nilai kontrak.

"Dengan kata lain, seharusnya jaminan pelaksanaan tersebut sembilan kali lipat dari yang sudah diberlakukan oleh direksi PLN," tulis laporan itu.

3 dari 6 halaman

Untuk Hemat Pembelian BBM

Oleh karena seluruh pengadaan gas bumi, batu bara, dan BBM di PLN tidak ada yang menerapkan jaminan pelaksanaan sebesar lima persen kali nilai kontrak.

Hal ini berarti BPK-RI menganggap proses pengadaan gas bumi, batu bara, dan bahan bakar minyak (BBM) yang sudah berlangsung beberapa tahun di PLN seluruhnya salah dari aspek penetapan jaminan pelaksanaan.

"Direksi PLN dianggap salah menafsirkan peraturan direksi yang dibuat oleh direksi PLN sendiri. Karena BPK-RI 2014 tidak bersedia menerima penjelasan direksi PLN, maka hal ini menjadi temuan audit," tulis laporan itu.

PLN menyatakan, pengadaan BBM HSD 2010 ditujukan untuk menghemat biaya pembelian BBM, karena dari pemasok bisa diperoleh harga yang lebih murah dari Pertamina. Harga BBM Pertamina untuk PLN ditetapkan melalui proses APBN, yaitu MOPS+5 persen.

MOPS merupakan Mean of Platts Singapore yang merupakan harga kontrak yang terjadi antara lain untuk komoditas BBM yang diumumkan oleh perusahaan plats di Singapura setiap periode tertentu yang dijadikan patokan harga BBM yang dijual Pertamina di Indonesia.

"Tender pengadaan BBM HSD 2010 diumumkan di media massa pada 11 Mei 2010, termasuk cara pemilihan pemenangnya, yaitu dalam hal calon pemenang dengan harga penawaran paling rendah merupakan produsen luar negeri, maka tidak langsung dapat ditunjuk sebagai pemenang, tetapi akan diberikan right to match kepada penawar berikutnya yang merupakan produsen dalam negeri," tulis laporan itu.

Perkiraan volume pembelian 1,25 juta kilo liter per tahun selama empat tahun untuk pusat listrik Muatatawar (Lot I,100 ribu kl), Semarang (Lot III, 200 ribu kl), Gresik/Grati (Lot III, 150 ribu kl), Medan (Lot IV, 300 ribu kl), dan Jakarta (Lot V, 500 ribu kl).

Setiap pusat listrik tersebut nanti memiliki dua pemasok BBM yaitu Pertamina (sebagaimana selama ini berlangsung dengan harga MOPS+5 persen) dan pemasok hasil tender.

"Peserta tender yang memasukkan penawaran adalah Pertamina, Aneka Kimia Raya, konsorsium Shell-KPM dan Tuban Konsortium," tulis laporan itu.

Pertamina memberikan penawaran terendah untuk lokasi Muaratawar dan Gresik/Grati. Sedangkan konsorsium Shell memberikan penawaran terendah untuk lokasi Semarang, Medan dan Jakarta.

"Karena Shell adalah produsen luar negeri, maka ditawarkan right-to-match kepada penawar kedua terendah yang berasal dari produsen dalam negeri. Maka Tuban consortium yang memiliki kilang BBM di Tuban menjadi pemenang untuk lokasi Semarang dan Belawan, sedangkan Pertamina mendapat tambahan lokasi Jakarta dari hasil menggunakan right-to-match," tulis laporan itu.

4 dari 6 halaman

Kualifikasi

Kualifikasi dilakukan secara pasca tender, dilakukan konsultan Sucofindo dan dilaporkan hasilnya pada September 2010. Para calon pemenang dinyatakan memenuhi syarat kualifikasi.

"Estimasi penghematan yang diperoleh PLN jika seluruh volume terealisasi adalah Rp 1,57 triliun. Dirut PLN minta persetujuan Dewan Komisaris PLN untuk mengeksekusi kontrak ini dan Dewan Komisaris memberikan persetujuan pada 1 November 2011, maka penunjukkan pemenang ditetapkan oleh Direktur Energi Primer yang saat itu dijabat oleh Nur Pamudji pada 12 November 2010," tulis laporan itu.

Adapun dalam pelaksanaan kontrak sejak Februari 2011 hingga November 2011, Tuban Konsortium memasok BBM ke pusat listrik Tambaklorok Semarang sebanyak 152,3 ribu kilo liter dengan harga sesuai hasil lelang.

"Jika dibandingkan dengan BBM asal Pertamina (MOPS+5 persen) yang juga memasok ke lokasi yang sama, PLN memperoleh penghematan sebesar Rp 93,4 miliar," tulis laporan itu.

Sedangkan untuk Medan, sejak Februari 2011 hingga April 2012, Tuban Konsortium memasok 309,8 ribu kilo liter sesuai harga kontrak yang jika dibandingkan dengan harga yang diterapkan oleh Pertamina (MOPS+5 persen) selaku pemasok utama di lokasi tersebut diperoleh penghematan sebesar Rp 187,9 miliar.

"Jumlah penghematan yang direalisasikan dari hasil pembelian BBM HSD dari Tuban Konsortium adalah Rp 281,3 miliar (Rp 93,4 miliar ditambah Rp 187,9 miliar),” seperti ditulis dari laporan itu.

Pada Mei 2012, Tuban Konsortium mendapat surat peringatan 1 dan 2 dari PLN karena gagal memasok. Kemudian Tuban Konsortium menyatakan secara tertulis kalau tidak sanggup melanjutkan kontrak, PLN menerapkan pasal perjanjian tentang proses pemutusan kontrak dan mencairkan jaminan pelaksanaan sebesar Rp 20 miliar untuk Semarang dan Rp 30 miliar untuk Medan, total jumlah Rp 50 miliar.

Dalam kaitan ini, auditor BPK-RI berpendapat, jika besar jaminan pelaksanaan adalah lima persen kali nilai kontrak selama 36 bulan, jaminan pelaksanaan yang dicairkan tidak hanya Rp 50 miliar tetapi Rp 450 miliar.

"PLN berpendapat bahwa pengandaian ini tidak valid, karena jika sejak awal proses tender sudah diumumkan bahwa besar jaminan pelaksanaan adalah lima persen kali nilai kontrak selama 36 bulan, dan bukannya empat bulan, maka hasil tender tentu berbeda, harga yang ditawarkan peserta pasti akan lebih mala sehingga realisasi penghematan yang secara riil sudah diperoleh PLN di lima lokasi pembangkit akan lebih rendah, bahkan bisa jadi tender tersebut gagal karena peserta tender menganggap cost-of-money dari jaminan pelaksanaan terlalu besar," tulis laporan itu.

Oleh karena itu, perlu ditekankan tujuan utama dari diadakannya tender BBM HSD 2010 dengan merealisasikan penghematan biaya pembelian BBM (dan penghematan tersebut sudah terlaksana), bukan memaksimalkan hasil pencairan jaminan pelaksanaan bila terjadi putus kontrak.

5 dari 6 halaman

Selanjutnya

Selain itu, hal-hal lain yang didalami petugas dalam audit investigasi BPK akhir 2014, penyelidikan KPK awal 2015, dan penyidikan Bareskrim Polri sejak awal 2016 adalah pemberian right-to-match ke produsen BBM dalam negeri, serta due diligence ke Singapura.

"Belum diketahui tindakan direksi PLN yang mana yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, dan bagaimana kerugian negara yang bersifat riil ditetapkan dan dihitung. Yang jelas tidak ada pertanyaan kepada saksi-saksi yang berkaitan dengan tuduhan memperkaya diri sendiri atau memperkaya orang lain yang mengarah ke suap, kick back, mark up atau kehilangan uang perusahaan secara nyata," tulis laporan itu.

6 dari 6 halaman

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Let's block ads! (Why?)

https://www.liputan6.com/bisnis/read/4001046/penjelasan-pln-soal-dugaan-korupsi-high-speed-diesel

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Penjelasan PLN soal Dugaan Korupsi High Speed Diesel"

Post a Comment

Powered by Blogger.