Liputan6.com, Jakarta - Pengembangan pasar modal tak pernah berhenti digenjot PT Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 2019, termasuk di dalamnya upaya untuk mengkerek jumlah pertumbuhan investor di pasar saham.
Direktur Pengembangan PT BEI, Hasan Fawzi menuturkan, otoritas bursa terus mendorong upaya peningkatan literasi pasar modal kepada investor di Indonesia.
Program 'Yuk Nabung Saham' misalnya, diluncurkan pada 2015, Hasan mengungkapkan program tersebut terbilang signifikan untuk meningkatkan jumlah investor.
Dari Desember 2015-2016, jumlah single investor identification (SID) naik 105,97 persen dari 434.106 SID ke 894.116 SID. Sedangkan Desember 2017 hingga 26 Desember 2018, SID naik sebesar 44,06 persen dari 1,12 juta SID menjadi 1,61 juta SID.
"Bahkan sampai dengan saat ini, secara total investor kita sudah sentuh 2 juta investor. Ada yang di saham, reksadana, obligasi," tuturnya saat berbincang dengan Liputan6.com, Sabtu (29/6/2019).
Meski berhasil meningkatkan aktivitas yang cukup tajam dari sisi jumlah investor, Hasan tak membantah literasi pasar modal di masyarakat masih jadi pekerjaan rumah besar di Indonesia.
Itu disebabkan tingkat penghasilan penduduk yang beragam, perbedaan pendidikan, agama, hingga dari sisi demografi Indonesia yang terbilang sangat luas.
"Jadi memang tantangan utamanya dari sisi literasi calon-calon investor. Bagaimana caranya meningkatkan pertumbuhan investor dengan penyebaran pemahaman," ujar dia.
Untuk itu Hasan menekankan, pihak bursa pun dipaksa harus kreatif meningkatkan transaksi saham lewat investor. Ini salah satunya diwujudkan dengan menawarkan produk-produk investasi yang beragam dan unik.
"Tuntutan mereka untuk produk-produk yang diawarkan untuk investasi saham saja tidak cukup lagi. Kita optimalisasi lakukan obligasi, ETF, sehingga investor, mereka itu makin nyaman karena banyak instrumen investasi," terang dia.
Ini Kontribusi Pasar Modal untuk Pembangunan Infrastruktur di Indonesia
Sebelumnya, Pemerintah terus melakukan berbagai upaya untuk menggenjot pembangunan infrastruktur. Tak terkecuali melalui pasar saham yakni PT Bursa Efek Indonesia (BEI).
Direktur Pengembangan BEI, Hasan Fawzi membenarkan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengajak BEI untuk ikut serta dalam pembangunan infrastruktur RI.
Hasan menuturkan, sumbangsih BEI dilakukan dengan proses sekuritisasi lewat emiten atau perusahaan tercatat di pasar modal.
Sekuritisasi adalah pengonversian sekelompok piutang dan jenis yang sama (biasanya kredit) menjadi surat berharga yang dapat diperdagangkan, meliputi piutang pokok dan bunga. Misalnya, potensi pendapatan di masa mendatang dicatatkan dan ditawarkan kepada investor.
"Bappenas mengajak lebih ke area sekuritisasi terhadap proyek-proyek berbasis infrastruktur. Jadi Bappenas menawarkan swasta pola kerja sama antara swasta dan pemerintah yakni dengan skema Public Private Partnership (PPP)," tuturnya saat berbincang dengan Liputan6.com, Jumat, 28 Juni 2019.
Menurut Hasan, BEI dalam hal ini dapat mendorong penerbitan Dana Investasi Infrastruktur (Dinfra) sebagai alternatif pembiayaan proyek-proyek infrastruktur pemerintah.
Adapun Dinfra merupakan reksa dana yang digunakan untuk menghimpun dana investor dan nantinya diinvestasikan pada aset infrastruktur.
"Jadi dari situ kemudian kita bersama emiten berminat sekuritisasi underlying project, asetnya ditawarkan di bursa misalnya lewat Dinfra. Itu sebetulnya ada skema sekuritisasi proyek-proyek yang secara umum untuk program infrastruktur," paparnya.
"Karena kebutuhan dana infrastruktur sendiri besar. Kita memungkinkan penerbitan instrumen seperti Dinfra. Atau kalau di real estate itu ada Dire (Dana Investasi Real Estate)," tambah dia.
Untuk diketahui saja, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan aturan mengenai Dinfra yang tertuang dalam peraturan OJK Nomor 52/POJK.04/2017 yang terbit pada 20 Juli 2017.
Dinfra sendiri dinilai lebih menarik disebabkan fleksibilitas yang tinggi dalam hal pilihan underlying asset.
Selain itu, Dinfra juga dapat dapat ditawarkan melalui penawaran umum dengan syarat aset infrastruktur telah menghasilkan pendapatan atau akan menghasilkan pendapatan paling lambat enam bulan sejak aset dialihkan ke DINFRA.
Kemampuan Fiskal Terbatas, Pembangunan Infrastruktur Tersendat
Sebelumnya, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani mengungkapkan, beberapa kendala yang menyebabkan pembangunan infrastruktur di Indonesia tersendat.
Salah satu faktornya adalah kemampuan fiskal pemerintah yang dinilai masih terbatas.
"Kendala percepatannya kemampuan fiskal kita terbatas, di sisi lain fokus belanja banyak. Masalah belanja pegawai, subsidi dan alokasi kita ke pemerintah daerah (jadi terbagi)," kata dia dalam rapat Panitia Kerja (Panja) di Badan Anggaran DPR RI, Jakarta, Kamis 27 Juni 2019.
Askolani mengatakan, pemerintah sudah mengarahkan pembangunan infrastruktur agar lebih masif.
Hanya saja, dia mengakui hasilnya belum secepat yang diharapkan. Seperti diketahui salah satu program prioritas Pemerintah Jokowi-JK yakni pembangunan infrastruktur.
Sebab infrastruktur memiliki peran strategis sebagai prasyarat, menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Untuk itu, arah kebijakan pemerintah pada 2020 yakni tetap konsisten terhadap pembangunan infrastruktur secara merata. Pemerintah dalam hal ini akan menambah belanja modal pada 2020.
"Tentu itu menjadi salah satu cikal bakal belanja infrastruktur yang lebih baik itu juga konsisten kalau kita lihat melalui DAK fisik yang juga diarahkan untuk infrastruktur melalui pemda-pemda," pungkasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Literasi Investor Jadi Tantangan Pengembangan Pasar Modal Indonesia"
Post a Comment