Liputan6.com, Jakarta Maraknya digitalisasi layanan keuangan membuat Bank Indonesia (BI) mempersiapkan langkah dalam melawan efek sampingnya, yakni shadow banking. Kehadiran shadow banking adalah akibat layanan keuangan yang tak diregulasi sehingga membahayakan konsumen. Kini, shadow banking menjamur akibat fintech ilegal.
Gubernur BI Perry Warjiyo berkata perlu ada aksi proaktif dari perbankan, yakni lewat digitalisasi. Nantinya perbankan digital harus terkoneksi fintech agar pengawasan bisa berjalan.
"Perlu tetap menempatkan digitalisasi perbankan sebagai core atau inti dalam integrasi tadi. Makanya kita dorong perbankan digitalisasinya agar terus berkembang pesat. Juga bagaimana fintech itu interlink dengan perbankan supaya tidak terjadi perbankan maya atau shadow banking," ujar Gubernur BI di Bali, Kamis (29/8/2019).
Indonesia sendiri tengah mengalami pertumbuhan fintech yang pesat. Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) menyebut mereka hanya punya enam anggota di tahun 2016, kini mereka sudah punya 250 anggota.
Seberapa Besar Ancamannya?
Lantas seberapa besar ancaman shadow banking di Indonesia? Kepala BI Insitute Solikin M. Juhro berkata ancaman di Indonesia masih minim ketimbang negara lain seperti China yang fintech-nya sudah amat besar, tetapi perbankan memang harus gencar melakukan digitalisasi untuk antisipasi.
"Perbankan harus digitalize. Integrasikan fintech dengan perbankan supaya enggak ada fintech liar tapi dia operated berdasarkan praktik perbankan yang terdigitalisasi. Integrate fintech and conventional banking," ujar Solikin.
Gubernur Perry menyebut mendukung penuh digitalisasi, baik itu untuk start up atau UMKM. Akan tetapi inovasi dalam hal perlindungan konsumen dan melawan risiko digital juga tidak boleh tertinggal, serta ekonomi digital harus fokus pada kepentingan nasional.
Gubernur BI: Perang Dagang jadi Tanda Kematian Era Globalisasi
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan keynote speech pada Konferensi Internasional Bulletin of Monetary Economics and Banking (BEMB) yang ke-13. Acara yang berlangsung di Bali ini dihadiri akademisi dari seluruh dunia dan bertajuk menjaga stabilitasi di era disrupsi digital.
Pidato Gubernur Perry bertema Dead of Globalization and the Rise of Digitalization (Kematian Globalisasi dan Kebangkitan Digitalisasi). Ia mengajak para akademisi dan pengambil kebijakan memahami pertanda terjadinya fenomena itu demi merespons secara bijak dan Perry menyebut ada empat pertanda.
"Bank Sentral mesti memahami lebih baik apa saja karakteristik di era kematian globalisasi dan kebangkitan digitalisasi. Karakteristik pertama adalah kebangkitan anti-perdagangan global. Kita sedang menghadapi perang dagang antara AS dan China, serta AS dengan negara lain," ujar Gubernur Perry pada Kamis (29/8/2019) di Bali.
Menurutnya, perang dagang justru berbeda dari teori-teori ekonomi yang ada karena perdagangan global justru bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi, produktivitas, dan kemakmuran. Efek perang dagang pun menjalar ke negara-negara lain, termasuk negara Asia.
"Ini perlu kita sikapi bahwa ketegangan perdagangan tidak baik. Itu akan menurunkan perdagangan internasional, menurunkan pertumbuhan ekonomi tak hanya dua negara yang berperang tapi juga semua negara," ujar Perry.
Gubernur BI juga mengingatkan pertanda lain kematian globalisasi dan bangkitnya digitalisasi, yakni seperti arus modal antar negara dan nilai yang volatile, respons Bank Sentral yang perlu ditingkatkan, serta maraknya digitalisasi sektor keuangan.
Kalangan ekonom memprediksi AS akan mengalami resesi pada 2021 mendatang jika perang dagang berlanjut antara AS-China. Proteksionisme AS juga berpotensi berlanjut jika Presiden Trump terpilih kembali di pemilu 2020.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Tak Ingin Pasar Direbut Fintech, Ini Pesan Gubernur BI ke Perbankan"
Post a Comment