"Banyak faktornya, saya gatau kenapa Bank Indonesia ngga masuk untuk menyediakan likuiditas saja untuk semua bank. Kan harusnya bank sentral. Seharusnya aset back sekuritis ini direpokan oleh Bank Indonesia aja dengan term repo (repurchase agreement). Jadi ga perlu ada bank peserta (bank jangkar)," kata Mikail kepada CNBC Indonesia, Sabtu (16/05/20).
Menurutnya, pembentukan bank jangkar akan meningkatkan risiko kredit bermasalah (non-performing loan/NPL). Hal ini menjadi sentimen negatif bagi pasar.
Pasalnya, investor khawatir siapa yang nantinya akan menjamin risiko kredit dari penempatan likuiditas ke bank pelaksana oleh bank jangkar. Apalagi, jika terjadi under perform. "Mungkin kalau market mau positif melihatnya, yang menanggung resiko dari kredit back sekuritis ini yang akan direpokan oleh bank-bank kecil ini, sebaiknya bank Indonesia yang pegang selaku bank sentral," ujarnya.
Dia memberi contoh. Misalnya bank kecil buku I/ buku II meminjamkan ke UMKM terus UMKM tidak bisa membayar karena COVID-19.
"UMKM ini kan dibungkus dalam aset back sekuritis dalam kredit UMKM tadi. Nah kalau bank-bank ini kesulitan likuiditas karena ga punya likuiditas karena under perform kreditnya bisa dibungkus aset yang under perform itu, terus direpokan ke Bank Indonesia. Lalu Bank Indonesia beli dengan menambah likuiditas, entah menurunkan GWM atau BI gunakan cadangan devisanya untuk menyerap aset back sekuritis ini," katanya.
"Tapi aset back sekuritis ini tidak selamanya ada di aset balance sheet-nya Bank Indonesia. Misalnya dikasih waktu sama Bank Indonesia aset sekuritas nya ini akan setara tenornya dengan 12 bulan, jadi sampai 12 bulan ke depan kalau misalnya COVID-19 nya selesai, orang mulai balik lagi nyicil itu nanti ketika BI balikan Repo nya maka resiko nya tetap ada di bank-bank yang minjamin kredit tadi bank-bank kecil tadi nah ini yang sebenarnya harus dilakukan."
Dian menambahkan, dengan pembentukan bank jangkar ini, nantinya bank kecil akan merepokan asetnya ke bank jangkar bukan ke BI. Padahal, di negara lain seperti Amerika Serikat, bank sentral atau The Fed yang menjadi penyangga likuiditas seluruhnya.
"Nah ini sekarang uncertainty dengan peraturan ini. Siapa yang menanggung resiko akhir dari kredit yang gagal bayar ini di bank-bank kecil ini. Nah kalo market sudah melihat jelas siapa yang menanggung resiko, saham bank-bank besar yang sekarang sedang tertekan itu akan bisa kembali lagi pulih," tutur Mikail.
Terlebih, kebijakan bank jangkar ini baru pertama kali dilakukan di Indonesia. Belum ada contoh penerapannya di negara lain.
"Jadi kebijakan ini perlu diyakinkan ke masyarakat karena kebijakan ini tidak dilakukan di negara seperti AS misalnya. Kalau kebijakan ini dilakukan atau ada best practice nya di negara lain mungkin investor bisa lebih tenang," paparnya.
"Karena best practice kalau di Amerika itu yang nanggung ujungnya The Fed."
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkenalkan mekanisme bantuan likuiditas bernama bank anchor (bank jangkar) atau dalam aturan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun disebut dengan Bank Peserta. Bank-bank ini akan menjadi penyedia likuiditas bagi bank-bank yang mengalami masalah likuiditas akibat COVID-19.
Bank jangkar akan menjadi bank yang menerima penempatan dana dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Ini akan dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Mekanisme bantuan likuiditas ini akan didapatkan bank pelaksana dengan menggadaikan kreditnya kepada bank jangkar. Hal ini dilakukan jika bank tersebut sudah mentok dari sisi likuiditas dan kondisinya sudah tak memungkinkan lagi melakukan gadai atau repo SBN (surat berharga negara) yang dimilikinya kepada BI.
(sef/sef)
https://news.google.com/__i/rss/rd/articles/CBMicWh0dHBzOi8vd3d3LmNuYmNpbmRvbmVzaWEuY29tL21hcmtldC8yMDIwMDUxNzA3MDczMC0xNy0xNTkwMTQvZWtvbm9tLWhhcnVzbnlhLWJpLW1hc3VrLXRhay1wZXJsdS1hZGEtYmFuay1qYW5na2Fy0gEA?oc=5
2020-05-17 00:17:51Z
52782185987268
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ekonom: Harusnya BI Masuk, Tak Perlu Ada Bank Jangkar! - CNBC Indonesia"
Post a Comment