Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah kembali melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa pekan ini. Sejumlah sentimen eksternal dinilai menekan laju nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Mengutip kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), Selasa (2/10/2018), rupiah berada di posisi 14.988 per dolar AS atau melemah 83 dari posisi 14.905 per dolar AS pada 1 Oktober 2018.
Mengutip laman Bloomberg, rupiah dibuka melemah ke posisi 14.945 per dolar AS dari penutupan perdagangan kemarin di posisi 14.911 per dolar AS. Pada perdagangan Selasa sore, rupiah berada di posisi 15.048 per dolar AS. Sepanjang Selasa pekan ini, rupiah bergerak di posisi 14.945-15.049 per dolar AS.
Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede menuturkan, ada sejumlah faktor eksternal dan internal pengaruhi nilai tukar rupiah. Dari eksternal, dolar AS cenderung menguat terhadap mata uang. Tak hanya dolar AS, tetapi juga imbal hasil surat berharga AS yang menguat.
Josua menilai, penguatan dolar AS juga dipicu ada kesepakatan dagang antara Meksiko dan Kanada. Akan tetapi, isu perang dagang dengan China masih berlangsung. Pemerintah AS diperkirakan masih menaikkan tarif impor barang China. Hal itu memicu kekhawatiran pelaku pasar.
"Perang dagang dengan China masih isu utama. Isyarat AS akan terus naikkan tarif impor barang China buat kekhawatiran pasar. Tak hanya dolar AS menguat tetapi juga yen. Ini pelaku pasar hindari aset negara berkembang back to safe haven," ujar Josua saat dihubungi Liputan6.com.
Selain itu, tren harga minyak dunia menguat juga jadi katalis negatif. Harga minyak Brent sentuh posisi USD 84,98 per barel pada awal pekan. Sedangkan harga minyak berjangka AS menyentuh posisi USD 75,3 per barel, tertinggi sejak November 2014.
"Harga minyak menguat membuat dampak negatif terhadap negara pengimpor minyak karena dapat perlebar defisit neraca perdagangan," kata Josua.
Harga minyak menguat membuat investor asing khawatir terhadap defisit transaksi berjalan terutama bagi negara pengimpor minyak. Meski demikian, Josua optimistis defisit transaksi berjalan masih di bawah tiga persen hingga akhir 2018.
Berdasarkan data BI, defisit transaksi berjalan tercatat USD 8 miliar atau 3,04 persen dari PDB pada kuartal II 2018. Angka ini lebih tinggi dibandingkan defisit kuartal sebelumnya USD 5,7 miliar atau 2,21 persen dari PDB. Hingga semester I 2018, defisit transaksi berjalan baru mencapai 2,6 persen dari PDB.
"Secara rata-rata 2,6 persen. Faktor musiman pada kuartal II. Semestinya kuartal III-IV terutama kuartal IV akan landai. Faktor dari dampak kebijakan Bank Indonesia (BI) dan pemerintah, defisit neraca transaksi berjalan 2,5 persen-2,7 persen pada 2018. Defisit transaksi berjalan tiga persen terhadap PDB kecil kemungkinan," kata Josua.
Ia menambahkan, sentimen eksternal mendominasi itu mendorong pelaku pasar keluar dari pasar keuangan. Hal tersebut juga mendorong imbal hasil surat utang negara (SUN) sentuh posisi 8,09 persen.
Namun, menurut Josua, nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS tidak sendirian. Mata uang di Asia pun merosot terhadap dolar AS. "Rupiah tidak sendirian. Mata uang Korea Selatan won, baht Thailand, dan peso Filipina (melemah terhadap dolar AS-red)," kata dia.
* Liputan6.com yang menjadi bagian KapanLagi Youniverse (KLY) bersama Kitabisa.com mengajak Anda untuk peduli korban gempa dan tsunami di Palu dan Donggala. Yuk bantu Sulawesi Tengah bangkit melalui donasi di bawah ini.
Semoga dukungan Anda dapat meringankan beban saudara-saudara kita akibat gempa dan tsunami Palu di Sulawesi Tengah dan menjadi berkah di kemudian hari kelak.
https://www.liputan6.com/bisnis/read/3657492/ini-alasan-rupiah-kembali-melemah-terhadap-dolar-asBagikan Berita Ini
0 Response to "Ini Alasan Rupiah Kembali Melemah terhadap Dolar AS"
Post a Comment