Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia kompak ditutup melemah pekan ini. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambles 3,02% dan rupiah terkoreksi 1,15% terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Pelemahan tersebut dipicu oleh kekhawatiran pelaku pasar terhadap potensi resesi global karena bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) diprediksikan akan kembali hawkish untuk menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan selanjutnya untuk meredam inflasi.
Mengacu pada FedWatch, sebanyak 97,2% para pelaku pasar memproyeksikan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps) dan membawa tingkat suku bunga Fed ke kisaran 3,75%-4%.
Hal tersebut terjadi setelah rilis data inflasi AS pada September 2022 yang menunjukkan bahwa inflasi masih berada di posisi yang tinggi dan belum melandai dengan cepat.
Biro Statistik Tenaga Kerja AS melaporkan IHK utama AS mencapai ke 8,2% (year-on-year/yoy) pada September lalu.
Laju inflasi memang lebih rendah dibandingkan pada Agustus yang tercatat 8,3% (yoy) tetapi masih di atas ekspektasi pasar yakni 8,1% (yoy).
Secara bulanan (month-to-month/mtm), inflasi tercatat 0,4% pada September atau meningkat dibandingkan pada Agustus yang tercatat 0,1%. Inflasi inti menyentuh 6,6 % (yoy) pada September, level tertingginya sejak 1982 atau 40 tahun terakhir.
Keagresifan The Fed diprediksi akan membawa perekonomian negara Adidaya tersebut masuk ke zona resesi dan tentunya akan berdampak pada negara-negara lain di dunia. Amerika merupakan perekonomian terbesar di dunia.
PDB AS menyumbang 25% dari ekonomi dunia. Amerika Serikat pun memimpin posisi ekonomi tertinggi sejak tahun 1960, bahkan jauh sebelum perang dunia I dan II. Atas dasar itu, Amerika Serikat dikenal sebagai negara adidaya ekonomi.
Dengan demikian, jika negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini tertekan, maka akan bisa dipastikan mengganggu perekonomian global.
Potensi resesi global turut meningkatkan permintaan akan dolar AS yang termasuk mata uang safe haven, sehingga membebani pasar keuangan Tanah Air.
Sebelum memulai perdagangan pekan depan, investor sebaiknya mencermati beberapa agenda ekonomi dari dalam negeri, maupun luar negeri.
Sentimen pertama, pada Senin (17/10/2022), pelaku pasar akan disuguhkan dengan rilis neraca perdagangan per September yang akan dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 13 lembaga keuangan memperkirakan surplus neraca perdagangan akan semakin tergerus menjadi US$ 4,85 miliar. Surplus diprediksi jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan periode Agustus 2022 yang mencapai US$ 5,76 miliar.
Konsensus juga memproyeksikan bahwa ekspor akan tumbuh 27,47% (year on year/yoy) sementara impor meningkat 34,31%. Jika neraca perdagangan kembali mencetak surplus maka Indonesia sudah membukukan surplus selama 29 bulan beruntun.
Sebagai catatan, nilai ekspor Agustus 2022 mencapai US$ 27,91 miliar atau melonjak 30,15% (year on year/yoy). Impor tercatat US$ 22,15 miliar atau melesat 32,81% (yoy).
Kepala ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro memprediksikan bahwa nilai ekspor akan melandai pada September, sejalan dengan anjloknya harga minyak sawit mentah.
Menurut data Refinitiv, rata-rata harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) ambles 10,3% di sepanjang perdagangan September 2022. CPO berkontribusi terhadap 13% total ekspor Indonesia sehingga penurunan harga CPO bisa berdampak besar terhadap total ekspor.
Andry juga menambahkan penurunan PMI Manufaktur China bisa berimbas pada melambatnya permintaan impor Negara Tirai Bambu. PMI China melambat ke 48,1 pada September dari 49,5 pada Agustus. Artinya, PMI China sudah tidak berada dalam fase ekspansif selama dua beruntun.
Perlambatan permintaan dari China tengah banyak disorot. Konsumsi warga China selama libur panjang Golden Week pada awal Oktober 2022 adalah yang terendah dalam tujuh tahun terakhir.
Seperti yang diwartakan Hellenic Shipping News.com, rata-rata pengiriman barang ke pesisir Pasifik dengan tujuan utama China turun 17% dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjelang libur Golden Week.
Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya, sepekan menjelang Golden Week adalah masa-masa sibuk lalu lintas kargo demi mengejar permintaan serta mengejar sebelum penutupan pabrik pada masa liburan. China adalah mitra dagang utama terbesar Indonesia. Perlambatan permintaan dari China akan berdampak besar ke ekspor Indonesia.
"Perlambatan ekspor masih bisa ditekan oleh tingginya permintaan CPO dari India menjelang perayaan Dilwali," tutur Andry, kepada CNBC Indonesia.
Sentimen kedua, berasal dari Bank Indonesia (BI) yang dijadwalkan akan mengumumkan keputusan suku bunga acuannnya (BI 7-Day Reverse Repo Rate) pada Kamis (20/10). Konsensus analis Trading Economics memproyeksikan bahwa BI akan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 bps dan akan membawa tingkat suku bunga BI ke 4,5% dari sebelumnya di 4,25%.
Sebelumnya, BI sempat memberikan kejutan kepada publik ketika memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 bps pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 21-22 September 2022. Keputusan tersebut jelas menandakan berakhirnya era suku bunga rendah.
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers mengungkap sejumlah alasan bank sentral kembali mengerek bunga acuan hingga 50 bps dalam RDG bulan lalu. Ini merupakan langkah frontloading BI.
"Keputusan kenaikan suku bunga tersebut sebagai langkah frontloading, pre-emptive dan forward looking," kata Perry, Kamis (22/9/2022).
Perry mengatakan kenaikan suku bunga sebesar 50 bps merupakan salah satu cara bank sentral untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan memastikan inflasi inti kembali ke kisaran sasaran BI di angka 3 plus minus 1% pada 2023.
"Serta memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya akibat ketidakpastian pasar keuangan global di tengah peningkatan permintaan ekonomi domestik yang tetap kuat," kata Perry.
Sementara, sentimen dari luar negeri berasal dari Negeri Tirai Bambu, di mana pelaku pasar akan disajikan rilis pertumbuhan ekonomi kuartal III-2022 pada Selasa (18/10).
Konsensus analis Tradings Economics memprediksikan PDB China kuartal III-2022 akan tumbuh ke 3,4% dari kuartal sebelumnya di 0,4% secara kuartalan (qtq). Sementara, PDB China secara tahunan diprediksi juga akan tumbuh ke 4,5% dari periode yang sama tahun lalu di 4,2%.
China merupakan mitra dagang RI terbesar, sehingga rilis data tersebut menjadi sangat penting dan perlu dicermati.
Mengacu pada data Kementerian Perdagangan, Tiongkok menempati posisi pertama sebagai mitra dagang terbesar dengan Indonesia pada periode Januari-Agustus 2022. Nilai ekspor non-migas senilai US$ 39,08 miliar atau setara Rp 602,8 triliun (asumsi kurs Rp 15.425/US$). Sementara nilai impor non-migas sebesar US$ 44,59 miliar atau setara dengan Rp 692,5 triliun.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
IHSG Menguat Hingga 2%, Rupiah Masih Lesu
(aaf/aaf)
https://news.google.com/__i/rss/rd/articles/CBMidmh0dHBzOi8vd3d3LmNuYmNpbmRvbmVzaWEuY29tL21hcmtldC8yMDIyMTAxNjEwNTg1NC0xNy0zODAwNDQvZGVhci1pbnZlc3Rvci1jZXJtYXRpLXNlbnRpbWVuLWluaS1iaWFyLWN1YW4tcGVrYW4tZGVwYW7SAQA?oc=5
2022-10-16 06:10:10Z
1605035979
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Dear Investor, Cermati Sentimen Ini Biar Cuan Pekan Depan - CNBC Indonesia"
Post a Comment