Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) mengalami tekanan berat dan menyentuh batas penurunan maksimal dalam sehari yakni 7% yang ditetapkan oleh sistem JATS BEI alias auto reject bawah (ARB).
Pada perdagangan Kamis kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup anjlok 2,12% ke level 5.979,38 dan setidaknya lebih dari 12 saham terkena ARB. Beberapa di antaranya saham-saham blue chip, farmasi, tambang, hingga BUMN konstruksi.
Sebelumnya bahkan ARB terjadi di 83 saham dalam sehari dalam catatan Tim Riset CNBC Indonesia.
ARB bukanlah suspensi (penghentian sementara), tetapi batas maksimal penurunan yang ditolak oleh sistem perdagangan BEI. Bursa menetapkan aturan ARB menjadi maksimal 7% mulai 13 Maret 2020 dari sebelumnya ARB sebesar 10%, dan besaran 7% ini berlaku selama masa pandemi Covid-19.
Sebelumnya diberlakukan kebijakan auto rejection simetris yakni batas atas dan batas bawah memiliki besaran yang sama di setiap fraksi harga.
Secara rinci, kelompok harga saham di rentang Rp 50-Rp 200 batas atas dan batas bawah 35%, rentang Rp 200-Rp 5.000 batas atas dan bawah 25%, dan rentang harga di atas Rp 5.000 batas atas dan batas bawah 20%. Jadi sebetulnya, sebelum pandemi, ARB sehari bisa 35%.
Kepala Riset PT Samuel Sekuritas Indonesia, Suria Dharma, menilai awalnya banyak terjadi ARB lantaran adanya margin call dalam transaksi margin.
"Awalnya kemungkinan karena margin call. Karena saham-sahamnya ARB sedangkan buat top up [tambah dana] ngga ada dana, maka terpaksa harus menjual saham-saham lainnya [force sell]," kata Suria, kepada CNBC Indonesia, Kamis malam (29/1/2020).
"Kemudian, sehingga akhirnya terjadi efek domino. Lalu diperburuk juga oleh turunnya bursa regional," katanya.
Secara sederhana, dalam beberapa literatur pasar modal dijelaskan bawah berinvestasi dengan margin berarti melakukan deposit di akun sekuritas dan meminjam sisa uang dari sekuritas untuk investasi. Tetapi ketika pasar bergerak melawan posisi (alias investor kehilangan uang di posisi saat ini), investor tersebut harus menambah setoran jika tidak akan terjadi jual paksa (force sell).
Margin call terjadi ketika sang broker meminta investor untuk menambah margin sebagai akibat dari kerugian posisi.
Suria mengatakan, saat ini para investor retail juga banyak yang tidak melihat valuasi saham tertentu, tetapi masuk ke pasar modal dengan ikut-ikutan teman atau influencer.
"Bursa kita biasanya turun kalau investor asing keluar, tapi kali ini tidak terjadi. Penurunan justru terjadi karena dominannya investor ritel lokal," katanya.
Dalam kesempatan terpisah, Wawan Hendrayana, Head of Investmen Research PT Infovesta Utama, mengatakan IHSG sudah naik dalam 6 bulan terakhir, sehingga wajar ada koreksi.
"Kita naik puluhan persen 6 bulan terakhir, sangat wajar kalau ada profit taking koreksi. Masalahnya ARB 7% itu malah bikin koreksinya lama, misal koreksi harusnya 20% terus bisa naik lagi, kalo sekarang kan mau [koreksi] 20% itu bisa minimal 3 hari [karena sehari cuma bisa koreksi maksimal 7%]," jelas Wawan.
Sebab itu, dia mengatakan, "untuk yang horizon mid-long term, ya bisa mulai akumulasi bertahan terutama untuk saham big caps keuangan bank dan telco. IHSG selalu ada siklus naik turun, dari pengalaman historis, dari titik tertinggi wajar kalo koreksi 20%, artinya dari 6.400 bisa turun ke 5.200 itu biasa," katanya.
"Biasanya sampe yang kena margin call habis itu baru indeks bisa naik lagi," katanya.
Dalam riset sebelumnya, PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia juga meyakini bahwa selama Januari 2021 pergerakan IHSG tetap berada pada tren positif, lantaran didukung oleh sentimen positif terkait pelaksanaan vaksinasi Covid-19 dan kenaikan harga komoditas.
Hal ini mengingat, selama kurun 8 tahun terakhir ---kecuali pada 2017 dan 2020--- IHSG selalu mengalami kenaikan rata-rata di Januari sebesar 1,5%. Namun pada Januari 2020, indeks memang terkoreksi 5,7% yang disebabkan oleh sentimen buruk terkait serangan AS terhadap jenderal tertinggi di Iran, Qasem Soleimani pada 3 Januari dan penyebaran virus korona.
Adapun menurut pengamat pasar modal dari PT MNC Asset Management, Edwin Sebayang, ARB yang terjadi bukan berarti menandakan saham itu sudah murah. ARB terjadi karena masih berlakunya batasan maksimal penurunan 7%.
Pada perdagangan sesi II, Jumat ini (29/1) pukul 13.58 WIB, IHSG bahkan ambles lagi hingga 2,49% di level 5.832 dengan catatan 375 saham ambruk, 114 saham naik, dan 127 saham stagnan.
[Gambas:Video CNBC]
(tas/tas)
https://news.google.com/__i/rss/rd/articles/CBMib2h0dHBzOi8vd3d3LmNuYmNpbmRvbmVzaWEuY29tL21hcmtldC8yMDIxMDEyOTEzMzc0My0xNy0yMTk2NTQvZHVoYmFueWFrLWJhbmdldC1zYWhhbS1hcmItdGVybnlhdGEtaW5pLXBlbWljdW55YdIBAA?oc=5
2021-01-29 07:07:13Z
52782590199628
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Duh...Banyak Banget Saham ARB, Ternyata Ini Pemicunya! - CNBC Indonesia"
Post a Comment